Mengenang Prestasi Alfala, Jalan Sunyi di Temasya Pantun Melayu Serumpun

 Dumai -   Tidak semua prestasi dirayakan dengan gemuruh tepuk tangan. Sebagian hanya menjadi jejak sunyi yang ditinggalkan seseorang yang bekerja dengan hati. Begitulah kiranya kisah Alfala, seorang seniman  Melayu yang kiprahnya  banyak terdengar di luar negeri  Pada tahun 2014, Alpala menjejakkan kaki di Melaka, Malaysia, dengan keyakinan di dada, ia menjadi salah satu utusan Indonesia dalam Temasya Pantun Melayu Serumpun, sebuah ajang kebudayaan yang mempertemukan pemantun dari seantero Dunia Melayu Dunia Islam.



Pertandingan berbalas pantun berirama dondang sayang dan joget itu berlangsung pada 23–26 Oktober 2014 di Sekolah Menengah Kebangsaan Simpang Bekoh, Jasin, Melaka, sempena Bulan Bahasa Kebangsaan dan Konvensyen Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI).

Di panggung sederhana, Alfala berdiri di hadapan ratusan pasang mata asing. Dengan suara tenang, ia melantunkan bait-bait pantun yang ia rawat sendiri sejak remaja. Pada malam penutupan, namanya disebut: Naib Johan, juara kedua dalam kategori terbuka. Sebuah pencapaian yang jarang diraih utusan Indonesia.

Bersama Alfala, pemantun lain asal Riau—turut mengukir prestasi dengan meraih juara ketiga. Sementara juara pertama diraih Afifudin Ali Akbar dari Medan, yang tampil cemerlang dalam dua cabang lomba sekaligus.



Pengerusi Institut Seni Malaysia Melaka (ISMMA), Prof. Datuk Wira Dr. Abdul Latiff bin Abu Bakar, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi kepada seluruh peserta yang berhasil mempertahankan khazanah seni berpantun di tengah arus modernisasi. Turut hadir pada acara penutupan Timbalan Exco Pelancongan Negeri Melaka, Datuk Hj. Ghazalie bin Muhammad, yang mewakili Ketua Menteri Melaka, Datuk Seri Haji Idris bin Haron, serta Ketua Majelis Kerapatan Adat LAM Riau, Dr. Tenas Effendy, dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian LAM Riau, Al Azhar.



Namun prestasi itu tak banyak dicatat media. Tidak ada pesta penyambutan, tidak pula kalungan bunga di pelabuhan. Trofi kecil bertuliskan Temasya Pantun Melayu Serumpun 2014 itu kini hanya berdiri diam di sudut rak—saksi bisu dari jalan sunyi seorang penjaga warisan yang tak meminta sorak sorai.

Hari ini, ketika banyak orang mengaku mencintai budaya Melayu dalam slogan dan selempang seremoni, nama Alpala menjadi pengingat bahwa ketekunan bisa berdiri sendiri. Bahwa cinta pada warisan leluhur tidak selalu butuh panggung megah, cukup keyakinan yang tak tergoyahkan.

Mengenang Alpala adalah mengenang seutas jalan yang hening, namun penuh makna—jalan sunyi yang pernah mengharumkan Melayu tanpa meminta balasan apa-apa.




 Ditulis Oleh Iwang – Tim Kreatif Bayang Bayang Anak Negeri

1 Comments

🏠 Home