KU TUNGGU DI RORO Eps 1- Tiga Tahun, Satu Janji, Satu Harapan

 

Cerpen oleh Iwang  

Angin laut mengusik tenang. Di ujung jembatan kayu panjang yang menjorok ke selat, seorang lelaki tampak terbaring santai. Buku dijadikan bantal, topi pet setia di kepala, dan kacamata tipis bertengger di wajah teduhnya. Pandangannya jauh ke langit, seolah sedang berbincang dengan awan.


Dari kejauhan, langkah kaki mendekat.

"Bang oi... Apo pasal tidow kat tepi laut ni? Campak laot baru tahu kang!" seru seorang pemuda sambil tersenyum geli.

Lelaki itu melirik malas, lalu duduk. "Oi Man... Dikau Man... Apo pulak yang bawak kau ke sini?"

"Aku nak jemput emak lah, Bang... Kat Roro tu. Dio balek dari Batu Panjang."

Eman ikut duduk di sisi Jamil, menjuntaikan kakinya ke laut. Air mengilap diterpa matahari petang.

EMan : "Sedap jugo duduk sini yo, Bang...." 

"Aok... Tempat ni pas untuk menunggu... dan untuk mengenang..." balas Jamil, matanya masih ke laut.

"Roro dah nampak tu... Kejap lagi sampai..."

"Hah... Setengah jam lagi tu,  nampaknyo  ajo dekat,  selalu kau ke Roro, Man?"

"Kadang seminggu sekali. Emak tu  adiknyo di Rupat. Kadang tigo hari, dio balek lagi."

"Syukurlah emak dikau masih sehat. Emak aku... Dah lamo tak ado, Man. Jago emak elok-elok, selagi ado."

"Aok bang... Bang, .. ngapo abang sanggup duduk-duduk sini, tidow-tidow  sini teros bang, abang tunggu Kak Laila? Dah setahun lebih tak ado kabar... Mungkin dio dah lupo dengan abang, bang."

"Hmmm..." gumam Jamil. "Tigo tahun lalu, aku antar dio ke Roro ni... Kami janji nak jumpo sini hari ni. Biarpun tak ado kabar, aku tetap percayo."

Suasana jadi senyap. Hanya debur air menyapa.

Tiba-tiba terdengar suara penjual keliling.

"Telur, tahu! Telur sepuluh ribu empat, tahu pun sama! Bang... beli bang... belum ado yang beli ni..."

"Ha... iyolah," kata Jamil sambil mengulurkan uang. "Duo bungkus telur, duo bungkus tahu, boleh?"

"Jadi, bang. Semoga abang berdua makin ganteng, makin manis! Aku ke Roro dulu ya, bang..."

Senyum mereka tipis mengiringi si penjual berlalu.

Eman melirik Jamil, suaranya pelan, "Bang... Dah lamo abang tak nampak batang hidung di sanggar kito. Kami masih latihan, bang. Kadang sorang-sorang. Yang mau  mempertahankan budaya kito tinggal kito nyo, bang... Kalau bukan kito, siapo lagi?"

Jamil menghela napas. "Aku sedang menulis, Man. Judulnya: Pembangunan Jangan Lupakan Seniman."

Eman :"Pembangunan Jangan Lupakan Seniman." (bergumam dan mengangguk angguk )), macam nak protes nampaknyo bang …”

Jamil : " Kito ni kadang selalu tak dianggap, seniman ni bukan sekadar penghibur. Seniman itu penjaga budaya. Penjaga nilai. Marwah. Tapi kito sering lupo...pembangunan  lebih sibuk bangun jalan, gedung, proyek... tapi lupo membangun jiwa, membangun rasa..."



Eman: “kan aku dah cakap tadi dah macam nak protes ajo. Tapi macam betulnyo tu, Bang..."

"Tengok yo, Man... di Dumai ni... betapo banyak seniman yang terus berkarya tanpa disokong... yang tua, dilupo... yang muda, tak dilirik. Seolah berkarya tu tak penting. Padahal, kalau tak ada seniman... siapa yang mendokumentasikan rasa orang Melayu? Siapo yang mengangkat martabat bahasa kito, lagu kito, tari kito?"

Eman mengangguk. "Iyo, Bang... Lagu-lagu macam karya Abdul Hamid, sampai sekarang masih kito nyanyi. Tapi waktu hidup, dio tak banyak dapat perhatian..."

"Itu baru satu, Man. Masih ado Mufit Edam, Tyas AG, Darwis Mohammad Saleh. Banyak lagi , Agoe S.Alam, Alfalfa dan ujang ebhat, seniman besar dari negeri ini. Tapi kito... tak pernah anggap mereka bagian dari pembangunan negeri." Siapo nak sebut lagi… ado Yopi, Tantri, Ado Ngah Anto….."

, Eman : “ Iyo bang, abang tak sebut Assay AlMAlay, Ngah Aroel, Ismail Abd Azizs, Yong Milah, Andra..rifa ... kang marah orang tu…,..*tersenyum.

"Kalau kito cakap soal infrastruktur, soal ekonomi... itu penting. Tapi kalau budaya dilupakan... bangsa ini jadi kosong, Man. Itulah yang sedang aku kutulis man. Bahwa membangun tak semestinya lupo pada seniman."

Tiba-tiba suara kapal terdengar dari kejauhan:

"Pooootttt.... Pooootttt...."

"Bang... Roro sampai dah tu... Moh kita jemput. Jemput bidadari abang tu... ha ha ha..." goda Eman.

"Iyo... Kang emak dikau besungot pulak kalau lambat jempot..."

Mereka berdiri di tepi pelabuhan. Orang-orang mulai turun dari kapal. Jamil menatap satu per satu wajah yang muncul. Mencari satu bayang, satu senyum yang tertinggal dalam ingatan.

"Bang... Kalau dio tak datang hari ni?"

"Esok aku datang lagi."

"Ehhh... kalau sampai tahun depan tak datang jugak, bang?"

"Aku tetap datang ke sini, Man. Aku percaya... sebab kami dah janji…."

Eman tersenyum dan berujar " memag pelek seniman ni kalau cinta" alu bersajak:

"Satu paya dua perih,
Seekor bujuk menganak ruan,
Nona disana saya disini,
Bagai pungguk rindukan bulan..."

Tawa kecil mereka terhenti ketika sosok tua berjalan membawa tas. Emak Eman.

"Mak!" seru Eman sambil cepat menghampiri. Ia mencium tangan ibunya dan mengambil tas dari tangan renta itu.

"Ha iyolah... Berat ni ha," ujar emak sambil mengelus kepala anaknya\ dan menyerahkan tas ditangannya.

Matanya lalu tertuju ke Jamil. "Eh, itu budak Jamil tu kan? Sapo dio tunggu situ?"

Eman nyengir. "Nunggu Kak Laila lah, Mak... Masih nunggu janji..."

Mereka mendekat.

"Oi, Jamil! Apo kau tunggu?" tanya emak sambil menepuk pundaknya.

"Iyo, Mak... Saya nunggu Laila. Kami janji, Mak. Tigo tahun lalu... di tempat ni."

"Mak tak ado pulak dengar kabar Laila nak balek hari ni , Jamil... Tapi kalau ado jodoh, mak doakan yang terbaik lah ye....., eh nak jamil .. sepupu man mak lawa tau... aku nak kenal engkau ye..dengan sepupu man tu ye..."

Jami : "Terimokasih Makcik... Hati sayo tak dapat  pnak indah ke lain... Biar saya tunggu... di Roro ni..." (terus memperhatikan orang yang lewat)

Eman : "Aok.. entah bilo siap buku tu kalau cam ni…jadi laen pulak cito buku tu kang….iyoalh bang besok aku sini ye…?" 

Eman dan emak pun berlalu.
Jamil tetap berdiri di tempatnya.
Penumpang terakhir sudah turun. Yang dinanti... tak kunjung tiba.

Ia berjalan lesu mengitari pelabuhan. Duduk sejenak di kursi kayu. Laut tampak mulai pasang. Langit mulai memerah.

Ia teringat perpisahan tiga tahun silam, di tempat yang sama, dengan kalimat: "Tunggu aku di Roro, Jamil..."

Ia berdiri kembali.
Melangkah pelan, menapaki jembatan yang kini sepi.
Langkah yang berat, tapi penuh harap.


“Esok aku akan datang lagi ke Roro. Sebab hati, bukan soal waktu. Tapi soal percaya.”


Ig

Next , Eps 2"Rindu yang Bertahan diRoro..:


0 Comments

🏠 Home