“Kami Anak Pesisir: Bangsa Laut, Waris Budaya, Penjaga Marwah”

Di sinilah kami berdiri.

Di tanah yang dicium asin laut, di hamparan sejarah yang digores angin Selat Melaka, di perbatasan samudera tempat budaya tidak tenggelam tapi berlayar gagah!

Kami ini anak Riau Pesisir — bukan serpihan, tapi sumbu bangsa.


Melayu Pesisir: Budaya yang Tak Surut, Jati Diri yang Tak Pecah

Budaya bagi kami bukan tempelan.
Dia hidup dalam sapaan, dalam cara duduk, dalam setiap bait pantun, dan dalam setiap langkah zapin. Kami bicara dengan irama, menegur dengan adat, menolak dengan petuah, dan marah dengan pantun yang menggigit tapi bersantun.

“Kalau berkata jangan melulu,
Telan dahulu sebelum sembur.
Kalau tak tahu adat pesisir itu,
Baik diam sebelum tersungkur.”

Budaya pesisir bukan diam. Ia menggelegak dalam diamnya, membara dalam senyumnya. Kami belajar dari laut: luas, dalam, tenang, tapi bila terusik — menggulung badai!


Dari Rohil ke Meranti: Satu Hati, Satu Darah, Satu Laut

Rokan Hilir

Di muara Sungai Rokan, orang tak sekadar menjaring ikan. Di sanalah jaring kehidupan dilempar. Bagansiapiapi, kota yang dulu disebut penghasil ikan nomor dua dunia, kini tetap hidup dalam denyut budaya dan semangat rakyatnya. Di sana, Bakar Tongkang bukan festival, tapi tanda hidupnya keberagaman dalam Melayu pesisir.

Bengkalis

Negeri tua, negeri adat. Di tanah ini, Majelis Kerapatan Adat Melayu tidak tidur. Ia jaga harga diri rakyat. Orang Bengkalis tahu, bila adat dipijak, maka tanah akan membalas. Di sinilah ilmu dituang dalam tepian, syarak dijunjung di musyawarah, dan pantun jadi penawar sengketa.

Dumai

Dumai bukan kota hilang budaya. Di balik kilang minyak dan pelabuhan sibuk, zapin masih dipukul, kompang masih berdentum, dan selawat tetap naik dari surau. Dumai berdiri sebagai garda ekonomi, tapi berjiwa Melayu seutuhnya. Kota ini tahu cara menghitung angka, tapi juga tahu menimbang adat.

Meranti

Di gugus pulau-pulau itu, sagu bukan sekadar makanan — dia simbol ketahanan. Orang Meranti hidup dalam laut, tapi tidak karam dalam zaman. Di antara gelombang, syair dan gurindam masih hidup, dan budaya tak hanyut meski dibadai modernisasi. Kami ini bangsa yang menari di atas ombak, dan takkan pernah jatuh dari perahu sejarah.

Siak

Siak bukan sekadar tanah raja. Ia adalah pusaka rohani Melayu. Sungai Siak telah melihat kerajaan yang menjulang bukan karena senjata, tapi karena syarak yang tegak, dan adat yang bertulang. Dari sana, Melayu menyebar bukan dengan tombak, tapi dengan hikmah, bahasa, dan keteladanan.


Budaya Bukan Hiasan — Ia Darah Kami

Kami pewaris hikmah. Di rumah panggung kami, anak belajar sopan santun sebelum bisa berjalan. Di tepian sungai kami, orang tua bercerita tentang Hang Tuah, tentang Datuk Laksamana, tentang pantang menyerah orang pesisir.

Kami tahu menari, tapi kami juga tahu menghunus.
Kami tahu bersyair, tapi kami juga tahu bermuafakat.
Dan yang paling penting: kami tahu siapa diri kami — anak laut, darah Melayu, penjaga marwah.


Seruan Anak Pesisir

Hari ini, bila ada yang mau melupakan kami,
atau menyebut kami “pinggiran”,
atau mencoba menghapus budaya kami dengan beton-beton proyek:
ketahuilah — kami bukan sekadar garis pantai, kami adalah pagar negara!

Selagi laut masih bergelombang,
Dan malam masih disapa azan dari surau kayu,
Budaya Melayu Pesisir takkan pupus,
Tapi akan terus menari, menyanyi, dan membakar semangat bangsa.

Kami bukan serpihan. Kami adalah nadi.
Kami bukan masa lalu. Kami adalah arus yang sedang bergerak.
Dan dari pesisir inilah, peradaban akan kembali disemai.

ditulis oleh Iwang"

0 Comments

🏠 Home